Rabu, 27 Oktober 2021

Kilas Balik, Bonlap 2008.


Arsenz 2008- 2017

Harusnya sih hari ini kami berusia 13 tahun, harusnya sih kami itu berlima. Tapi karena ada oknum personil sebut saja namanya Tino, orang yang kalo diajak ngarental suka bilang "teu boga duit"  tapi susulumputan ngaemie di warung si ibu, yang kalo nyanyi suka ngagokan vokalis, yang kalo ngagitar pick nateh suka nepi ka potong padahal lagi bawain lagu slow, yang kalo ngocok gitar nateh sok mawa karep sorangan. 

Pernah suatu hari ketika pulang sekolah, kami bertiga (saya, dikdik, dan tino. Yang dua orang lagi teuing keur dimana, poho) berencana untuk ngarental di studio a ekol yang gigireun sakola itu, tapi si oknum tino nyarios teu gaduh artos cenah, dan anjingnya beliau teh malah ngajak malak, katanya mayan buat nambahan jang mayar studio. Anehnya kami setuju dengan ajakannya, kaya terhipnotis gitu anying.

Setelah itu kami bermusyawarah untuk mencari target yang akan kami palak. Sangat sulit pada saat itu untuk mencari calon korban, kami sangat selektif dalam menentukan target dengan alasan kalo targetnya ngalawan, kami yang ripuh :((

Setelah menunggu beberapa lama akhirnya semesta memberikan petunjuk. Dari kejauhan terlihat seorang siswa berjalan menyusuri lorong kelas menuju ke arah kami. Dengan penuh antusias kami setia menunggu dia mendekat, semakin dekat sampai akhirnya ia tiba tepat didepan kami.
Dan orang itu adalah mr. Noname, salah satu anak Ipa berperawakan minimalis. Meskipun anaknya kurus, tapi jangan salah, dia itu termasuk anak yang cupu serta pikawatireun. Saya yakin kalo dia adalah korban terbaik yang semesta kirimkan buat kami.

Wow penantian kami tidak sia-sia, jiwa kriminal kami kian bergejolak. Dengan penuh semangat kami mulai menjegal dia.
Langkah mungilnya terhenti ketika kami berdiri dan berbaris tepat dihapannya.
Tanpa basa basi kami mulai mengutarakan isi hati kami kepadanya, "bro urang rek ngarental, kurang dana yeuh."
Dia cuma bilang, "sabaraha?"
Dengan cepat si tino ngajawab, "tilu rebu."
"Anjing." ucapku dalam hati sebagai reaksi atas nominal yang diucakan si tino.
Sambil tersenyum ramah si korban berkata, "aduh urang aya 5 rebu, sok we bisi rek di angge mah."
Kami bertiga saling tatap.
"Ah butuh nage 3 rebu da." 
"Eh wios sok we angge heula."
Mendengar ucapan beliau kami jadi dilematis dong, ditampi isin, ditolak butuh.
Dan itu semua gegara si anying yang masang tarifnya teramat murah.
Ahirnya dengan penuh rasa malu kita menerima uang tersebut, kami janji untuk mengembalikannya besok.
Ternyata semesta mengirimkan orang yang salah buat kami.
Niatnya mau malak malah ngahutang.
Dan besoknya kami bertiga udunan untuk mayar hutang ka si mantan calon korban.

Sejak saat itu kami trauma buat ngajak si tino ngarental.

Introvert

Mungkin Tuhan menciptakan "Introvert" untuk memperindah dunia.
Iya, saya tau kalimat itu terlalu berlebihan. Tapi kebanyakan hal-hal indah yang ada di dunia ini tercipta dari buah pikir seorang introvert.
Lagu yang kalian dengar, film yang kalian tonton, novel yang kalian baca, lukisan yang kalian lihat, dan keindahan lainnya banyak berasal dari seorang introvert.

Banyak hal-hal gila yang bersarang di kepala seorang introvert, meski tidak semua introvert bisa merealisasikannya menjadi sesuatu hal yang nyata. Tapi itulah kenyataannya.
Seorang introvert selalu berdiskusi dengan dirinya sendiri. Isi kepalanya selalu ramai, itu salah satu yang membuat seorang introvert jarang merasa kesepian meski hidup dalam kesendirian, mereka tidak merasa sunyi saat hening menyelimuti.

Selasa, 26 Oktober 2021

Saya

Ada yang bilang, "Berbicara itu yang penting, bukan yang penting berbicara."

Saya setuju.
Tapi sialnya, apa yang menurut saya penting, tidak begitu penting bagi orang lain.
Sehingga saya lebih memilih DIAM.

Bagi sebagian orang, itu terdengar menyedihkan. Tapi tidak bagi saya. Saya bisa membuat kesenangan dengan cara saya sendiri, saya bisa menciptakan kebahagian tanpa harus melibatkan orang lain.
Bukan egois, tapi itulah cara saya menikmati hidup.

Mereka selalu berpendapat saya itu pemalu, sombong, atau apalah sebutannya. Tapi itu hanya pendapat mereka yang tidak mengerti.
Karena pada kenyataannya, saya hanya tidak bisa memulai sebuah interaksi, bahkan untuk sekadar menyapa saja saya sering merasa sungkan. Saya selalu merasa takut, takut jika perkataan atau keberadaan saya mengganggu mereka. Karena itu yang saya rasakan ketika ada orang yang (tidak terlalu dekat) mencoba berkomunikasi dengan saya. Saya selalu memikirkan apa yang akan saya katakan, saya tidak suka dengan spontanitas dalam sebuah obrolan, basa-basi saya selalu terasa basi.
Itu yang membuat saya lebih nyaman bertukar pesan daripada melakukan panggilan suara.
Entah berapa banyak panggilan suara yang saya abaikan. Sekali lagi "bukan karena saya sombong" saya hanya tidak nyaman berkomunikasi secara langsung. Itu hanya akan membuat saya terlihat bodoh.

Saya lebih memilih berkata-kata lewat tulisan daripada berbicara secara lisan.
Setidaknya itu bisa memberi waktu untuk memikirkan apa yang harus atau ingin saya katakan.
Mungkin itu terlihat aneh, tapi itulah saya.

Kenapa Saya Harus Bisa?

Jika orang lain bisa, saya juga harus bisa.
Tidak, itu terlalu melelahkan untuk pemalas seperti saya. Saya bukan tipikal orang yang mau dan mampu menguasai banyak hal, atau bisa dibilang saya tidak peduli akan hal itu. Apapun yang mereka bisa, apapun yang mereka lakukan, itu bukan urusan saya.

Jika orang lain tidak bisa, saya yang harus bisa.
Ya, saya lebih memilih melakukan hal itu.
Meski terdengar sulit tapi setidaknya itu membuat saya dibutuhkan meski dalam sirkel terkecil.
Saya bisa lebih fokus mempelajari apa yang harus saya pelajari tanpa harus mengikuti atau menyamai orang lain.