Selasa, 19 Maret 2019

Pulang

Pada sebuah sore di sudut perkantoran yang tak begitu ramai. Ujung mataku tanpa sengaja melihatmu, perempuan yang aku kenal di jejaring sosial.
Itu kali pertama kita berjumpa.
Ada canggung yang aku rasa ketika kedua bola mata kita bertemu dan saling tatap.
Entah apa yang harus ku katakan padamu.
Lidahku tetiba beku, tuturku menjadi kaku, sulit bagiku untuk berkata atau sekadar menyapa.
Hatiku telah jatuh sejak pandang pertama.
Kita mungkin sangat akrab di dunia maya tapi dalam nyata kita adalah sesuatu yang begitu asing.

Sejenak kita saling terdiam sebelum akhirnya bibir merahmu menampakan senyum dan sesaat kemudian kamu berkata, "hai."
Dan itulah kata pertama yang aku dengar dari mulut manismu.

Selama ini aku telah membaca ratusan atau ribuan bahkan lebih kalimat-kalimat yang kau ketik pada smartphonemu yang kau kirimkan kepadaku lewat media sosialmu. Banyak hal yang telah kau ceritakan tentangmu, begitu pula aku, aku tak pernah risih menceritakan perjalanan hidupku padamu.

Disore itu.
Kesan pertamaku terhadapmu tidak bisa aku terjemahkan dalam kalimat. Entah apa yang aku rasakan saat itu.
Kita membuka pembicaraan lewat pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya telah kita bicarakan lewat chat. Kita hanya mengulang semua kalimat yang kita perbincangkan dari dunia maya ke dunia nyata.
Itu menyebalkan buatku. Bukan sebal karena berbincang denganmu, tapi sebal karena aku tak terbiasa berkomikasi secara lisan.
Aku lebih suka merangkai aksara lewat tulisan dari pada berkata-kata secara lisan. Karena aku lebih baik tidak dibaca dari pada tidak didengar.
Tapi meskipun lisanku terbata, aku tak melihat rasa ilfeel darimu kepadaku.
Kau sepertinya menerima segala kegugupanku pada saat itu.

Kata demi kata, kalimat demi kalimat telah kita ucapkan dihari pertemuan kita.
Hingga senja datang dan memaksa kita untuk menyudahi pertemuan ini.

Katamu, "hari telah larut." aku tau maksudnya.
Dengan senang hati aku menawarkan diri untuk mengantarmu pulang.
Tapi kamu menolak karena tidak mau merepotkanku.
Saat itu aku tak memaksakan kehendakku.
Aku tak ingin dianggap lelaki yang egois yang memaksakan kehendaknya.
Dan sekarang aku menyesali keputusanku itu, aku menyesal tidak memaksamu, aku menyesal telah membiarkanmu pulang sendirian.

Aku menemanimu menunggu angkutan umum yang akan membawamu pulang.

Ada rasa kecewa, aku mengutuk waktu yang terkesan begitu cepat. Aku masih ingin bersamamu, aku masih ingin mendengarkan ceritamu, aku masih ingin bersikap salah tingkah didepanmu.

Tapi waktu tetaplah waktu, dia akan tetap berlalu.

Setelah beberapa lama, angkutan umum itu akhirnya tiba. Kau melangkah memasukinya.
Entah mengapa, rasanya berat sekali melepas kepergianmu. Padahal kamu bukan siapa-siapanya aku. Dan pertemuan kita baru beberapa jam yang lalu. Tapi itu memberikan kesan yang mendalam.

Ketika kamu duduk diangkutan umum itu, kamu menoleh keluar jendela, tersenyum dan berkata, "Terima kasih ya, aku akan menghubungimu kalau sudah sampai."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk tanpa berkata apa-apa.
Kau pun berlalu.

Gila... Baru beberapa detik berlalu setelah kamu pulang, rasa rindu mulai datang. Aku tak bisa berhenti memikirkanmu.
Dalam perjalanku menuju tempat kostanku, pikiranku selalu tertuju padamu.
Aku tak tau kenapa rasa itu semakin detik semakin membesar.

Saat aku sampai di kamar kostanku, aku segera berbaring, membuka smartphoneku, berharap sudah ada kabar yang aku terima darimu. Tapi harapanku hanya sebatas harap, tak satupun pesan yang masuk ke WA ku.

Aku berpikir mungkin kamu terjebak macet, karena situasi lalu lintas dikota ini sangat padat apalagi akhir pekan seperti ini.
Aku tetap menunggu kabar darimu, menunggu dan terus menunggu.
Hingga pekatnya malam menyelimuti kota, aku tetap belum menerima pesan darimu.
Ada resah juga khawatir yang aku rasakan.
Kenapa kamu tidak menghubungiku?
Apakah aku tak berarti untukmu?
Apakan kamu menyesal telah bertemu denganku?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menerus hadir dipikiranku.
Sampai aku tertidur.

Ke esokannya, aku bangun siang hari karena semalam tidur setelah ba'da subuh.
Aku langsung membuka Hp ku. Tapi tetap tak ada pesan darimu. Lalu aku membuka semua akun media sosialmu. Dan betapa terkejutnya aku, dikolom komentar Instagrammu dipenuhi ucapan bela sungkawa diunggahan terakhirmu.
Itu foto kakimu saat kamu didalam angkutan umum itu, dengan caption, "Hari yang membahagiakan, saatnya untuk pulang."
Aku terhenyak tak percaya, aku mencari tahu apa yang terjadi kepadamu.
Aku mengirim pesan pada temanmu, menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
Dan jawabannya sangat-sangat tidak asik untuk dibaca oleh kedua mataku.
Temanmu bilang, kendaraan yang kamu tumpangi kecelakaan saat melintasi palang pintu kereta api. Seluruh penumpang tewas, termasuk kamu.

Aku terdiam, aku masih tak percaya dengan apa yang telah terjadi.

Sesingkat itukah pertemuan kita?
Secepat itukah kamu pergi?

Air mata terus membasahi pipi ini.
Detik demi detik yang berlalu menambah pilu serta hancur perasaanku.
Aku tidak pernah menyangka bahwa kata, "Pulang." yang kau ucapkan adalah sebenar-benarnya pulang.

Selamat jalan, terima kasih untuk rasa yang telah kau ciptakan, terima kasih telah menemaniku berchat ria setiap hari, terima kasih untuk pertemuan yang singkat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar